Minggu, 20 Maret 2022

ASWAJA. Materi PMII.

 

AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH

MANHAJ AL FIKR SEBAGAI REALISAI INKLUSIVITAS ASWAJA UNTUK SEBUAH PERUBAHAN

Oleh: PK Sunan Ampel PMII Kota Malang*

                                                                                              

PENGANTAR

            Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu. Meski pada awal mulanya aswaja bukan sebagai sebuah aliran ataupun paham dalam teologi bahkan ideologi, namun kita tentu tidak dapat mengelakkan kenyataan sejarah yang telah menyeret aswaja sebagai sebuah aliran teologi bahkan ideologi. Pada dasarnya semua kelompok yang memposisikan dirinya sebagai ahli sunnah wal jama’ah menghendaki dirinya menjadi yang terselamatkan sebagaimana diisyaratkan oleh Rosulullah, namun terkadang menjadikannya eksklusif dan memandang salah kelompok lain. Melihat kenyataan itu dengan tidak bermaksud menambah kerancuan dan dikotomi sesama muslim PMII tetap menganggap bahwa aswaja adalah sebagai sebuah pilihan diantara pilihan yang ada untuk menjadikannya sebagai sebuah ideologi.

            Ideologi sebagai sebuah cita-cita dan pandangan hidup tidak serta merta membatasi PMII untuk hanya mengambil apa adanya (take for granted), akan tetapi tetap memelihara dimensi dan ruang kebebasan (hurriyah), baik kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah). Hal ini dikarenakan kita tidak lagi berada dalam ruang dan waktu sebagaimana para perumus aswaja sebagai ideologi berada, namun kita telah berada dalam dunia kekinian, sehingga untuk tetap menjaga eksistensi aswaja maka aswaja harus dipandang sebuah ideologi inklusif. Artinya aswaja dikarenakan posisinya sebagai sebuah ideologi maka harus dapat diterjemahkan dan dielaborasikan dalam pengembangan pemikiran dan khazanah keilmuan baik yang bersifat keislaman ataupun sosial dan saint. Untuk itu agar lebih operasional disamping aswaja sebagai ideologi maka aswaja juga harus menjadi manhaj berfikirnya (manhaj al fikr) kader PMII.

            Persoalan selanjutnya adalah bagaimana kita dapat melihat dengan jelas akar kelahiran dan perkembangan aswaja sebagai aliran teologi, ideologi ataupun sebagai sekedar pembeda dari golongan yang sesat sebagaimana diisyaratkan oleh Rosulullah. Untuk itulah pentingnya materi aswaja ini, yang lebih lanjut akan kita udar dalam pembahasan berikut.

ASWAJA DAN PERKEMBANGANNYA

            Akar-akar sejarah munculnya istilah ahlu sunnah waljamaah sebenarnya sudah muncul sejak Rosulullah SAW, dengan hadits prediktifnya yang menyatakan bahwa umat islam akan terpecah menjadi 73 golongan dengan 72 nya sesat dan hanya satu yang selamat yakni ahlu sunnah waljama’ah. Namun sebagai konfigurasi sejarah, secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M)di Mesopotamia, Abu Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin Ja’far al-Thahawi (w.331 H/944 M) di Mesir. ( Nourouzzaman Shidiqi : 1996). Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh As’ari sudah keluar dari paham yang semestinya.

PERTEMUANNYA DENGAN NAHDHOTUL ULAMA’ (NU)

            Gelombang euphoria pembakuan atau pem-Madzhab-an Aswaja seperti yang diungkapkan diatas rupanya sampai juga di Indonesia. Arus modernisasi dan kebangkitan gerakan Islam baik di ranah intelektual maupun cultural telah melahirkan banyak organisasi Islam formal yang mulai menjamur diujung era Penjajahan (sejak akhir abad 19 M) .Dan ternyata juga menempatkan Aswaja sebagai asas organisasi dengan standarisasi Madzhab, komplit melalui pembakuan produk tauhid, produk fiqih, dan berbagai product sikap social politik

NU yang merupakan ‘orang Tua’  PMII  melalui pendirinya, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari mengelaborasi aswaja yang termaktub dalam kitab Qanun Asasi yang biasanya selalu dibacakan oleh Raisul Aam dalam Muktamar NU, meliputi :

1.        Tauhid versi Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansyur Al Maturidi

2.        Fiqh versi Imamul Arba’ah ( Hanifah, Maliki, Syafi’I, dan Ahmad )

3.        Tashawwuf versi Imam Ghozali dan Imam Junaid Al Baghdadi

Dari upaya mengelaborasi aswaja yang take for grented oleh para pendiri NU memberikan nuansa eklusifitas NU dan sakralisasi atas hasil pemikiran 8 tokoh tersebut di atas,  dan hal ini menyebabkan NU kurang akomodatif terhadap pemikiran-pemikiran Islam  selain yang dibangun oleh 8 tokoh diatas. Disamping itu, pembakuan tersebut menjadikan NU terkesan lamban dan kaku dalam merespon dan mentransformasikan ajaran sunny terhadap tantangan social yang kompleks dan pluralistic .

            Beberapa generasi muda NU mencoba mengkritisi fenomena tersebut dengan mencoba mengajak berfikir ulang terhadap arti dan fungsi Aswaja sedikit mengungkap akar metodologis dan historis tentang pembakuan aswaja NU tersebut, diantaranya :

1.                  Keberadaan tokoh tokoh rujukan yang membangun pemahaman Aswaja NU sebenarnya adalah ulama’-ulama’ yang masing-masing memiliki kerangka metodologis sendiri-sendiri dan mungkin berbeda-beda terhadap tiga pokok dasar Islam yaitu Tauhid, Fiqh, dan tashawwuf

2.                  Eksklusivitas yang mengindikasikan seolah-olah sudah tertutup ruang dialektis untuk menempatkan konsep maupun produk ijtihat dari  Fiqh lain (Mis. Adh dhahiri ,Sofyan assauri dll) , tauhid yang lain (Mis. Ibnu Taymiyah, syi’ah Imamiyah dll) , serta tashawwuf yang lain (seperti asy Syadzili, Al Hallaj, dll)

3.                  Belum digalinya  secara maksimal tokoh-tokoh yang sudah terlanjur didaulat  menjadi panutan Aswaja NU, mis. Konsep tauhid Al Maturidi dan konsep tasahawwuf Al Junaid masih jarang kita temui  secara utuh atas karya-karyanya.

Dari berbagai pertimbangan itu Dr  Said Aqiel Siradj yang pada tahun 1995 memegang jabatan Khatib ‘Aam PB NU melontarkan dekonstruksi Aswaja versi Qanun Asasi NU di depan sahabat-sahabat PMII di Jakarta. Beliau mengajak kepada para generasi muda NU agar bisa menempatka Aswaja sebagai Manhajul Fikr, bukan Madzhab (ideologi), yang mengkedepankan 3 prinsip Utama yaitu tawasuth, tawazun, dan Tasamuh. Meskipun pada awalnya menimbulkan berbagai hujatan dan kritikan dari sesepuh NU, Namun kemudian proses yang cukup radikal ini ternyata menjadikan NU lebih dewasa dan arif dalam memandang Aswaja yang dulu memang diskaralkan dan jumud.

ASWAJA SEBAGAI IDEOLOGI INKLUSIF MELALUI MANHAJ AL-FIKR

             Sebagai sebuah ideologi aswaja tidak sekedar menjadi cita-cita spirit organisasi, namun lebih dari itu aswaja harus mampu menjadi spirit hidup hingga tercapai esensi aswaja sebagai sebuah tujuan hidup. Namun demikian tidak menjadikan kita menjadi terbelenggu oleh menu khazanah pemikiran yang disuguhkan oleh para penegak aswaja sebagaimana yang dipegangi oleh NU yang merupakan ‘bapak’ PMII. Aswaja sebagai sebuah ideologi bagi PMII memiliki ciri inklusif, artinya tetap membuka diri atas potensi kebenaran pada orang (tokoh) lain, yang tentunya tetap menjadikan aswaja sebagai kerangka filter dan metode berfikir. Lebih jauh aswaja PMII ditempatkan pada posisi esensial formal, yaitu kebenaran dan cita-cita aswaja yang ingin dituju adalah secara esensi dan potensi, namun tetap menjaga sisi formal (Norm), sehingga aswaja dapat secara operasional diterapkan dengan menjadikan ideologi aswaja sebagai Manhaj al Fikr.

Aswaja sebagai Manhajul Fikri artinya tidak lagi menempatkan Aswaja sebagaimana NU yang take for granted, metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Oleh karenanya ideologi aswaja harus memiliki nilai dan standarisasi untuk mengukur pencapaiannya dalam menjadi sebuah metode berfikir. Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta pada tahun 1995. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumusan baru Kang Said diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII.

Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; Tawasuth (moderat), menempatkan diri pada prinsip moderat (tengah), artinya mampu mengelaborasi dua sisi yang radikan untuk mencapai kebenaran ideal. Tasamuh (toleran) sebuah prinsip yang responsip terhadap al urf (budaya) dan segala khazanah dunia, yang tidak mengkedepankan simbolistik dalam upaya memasukkan dan membumikan nilai-nila Aswaja kepada umat manusia. Disinilah PMII dengan aswajanya harus memegangi sebagai Rohmatan lil alamin. Tawazzun (seimbang), sebuah prinsip istiqomah dalam membawa nilai-nilai aswaja tanpa intervensi dari kekuatan manapun, dan sebuah pola pikir yang selalu berusaha untuk menuju ke titik pusat ideal serta mampu mewujudkan keseimbangan .

Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah manifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan memposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.

PENUTUP

Uraian konsepsi aswaja tersebut diatas, harus dipahaminya sebagai perkenalan awal yang sudah semestinya dapat diejawantahkan dan diaktualisasikan dalam diri dan prinsip hidup kader. Posisi aswaja sebagai ideologi inklisif tersebut menandakan PMII memberikan ruang kritik dan dialektik atas realitas baik aktual atau bahkan yang sudah mapan sekalipun. Sebagai akhir catatan ini, konsep utama melihat konsistensi dan eksistensi aswaja adalah sejauh mana sahabat dapat menggunakan aswaja untuk mewujudkan perubahan.

 

***Selamat*Viva*PMII*Berkarya***

 

 



* disampaikan oleh Suud Fuadi  mahasiswa fak. Syari’ah yang sedang ngangsu kaweruh di PMII serta mendapat amanah sebagai Ketua Komisariat PMII Sunan Ampel Malang ‘05-06

Disampaikan dalam MAPABA PMII Rayon Ibnu Aqil dan Al Adawiyah pada tanggal 25-27 Nopember 2005 di Batu Malang

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda