ASWAJA. Materi PMII.
AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH
MANHAJ AL FIKR SEBAGAI REALISAI INKLUSIVITAS ASWAJA UNTUK SEBUAH PERUBAHAN
Oleh: PK Sunan Ampel PMII Kota
Malang*
PENGANTAR
Telaah
terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian
keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional,
bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu
yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep
pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi
oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya
tertentu. Meski pada awal mulanya aswaja bukan sebagai sebuah aliran ataupun
paham dalam teologi bahkan ideologi, namun kita tentu tidak dapat mengelakkan kenyataan
sejarah yang telah menyeret aswaja sebagai sebuah aliran teologi bahkan
ideologi. Pada dasarnya semua kelompok yang memposisikan dirinya sebagai ahli
sunnah wal jama’ah menghendaki dirinya menjadi yang terselamatkan sebagaimana
diisyaratkan oleh Rosulullah, namun terkadang menjadikannya eksklusif dan
memandang salah kelompok lain. Melihat kenyataan itu dengan tidak bermaksud
menambah kerancuan dan dikotomi sesama muslim PMII tetap menganggap bahwa
aswaja adalah sebagai sebuah pilihan diantara pilihan yang ada untuk
menjadikannya sebagai sebuah ideologi.
Ideologi sebagai sebuah cita-cita
dan pandangan hidup tidak serta merta membatasi PMII untuk hanya mengambil apa
adanya (take for granted), akan tetapi tetap memelihara dimensi dan ruang
kebebasan (hurriyah), baik kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi),
kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan
berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah). Hal ini dikarenakan
kita tidak lagi berada dalam ruang dan waktu sebagaimana para perumus aswaja
sebagai ideologi berada, namun kita telah berada dalam dunia kekinian, sehingga
untuk tetap menjaga eksistensi aswaja maka aswaja harus dipandang sebuah
ideologi inklusif. Artinya aswaja dikarenakan posisinya sebagai sebuah ideologi
maka harus dapat diterjemahkan dan dielaborasikan dalam pengembangan pemikiran
dan khazanah keilmuan baik yang bersifat keislaman ataupun sosial dan saint.
Untuk itu agar lebih operasional disamping aswaja sebagai ideologi maka aswaja
juga harus menjadi manhaj berfikirnya (manhaj al fikr) kader PMII.
Persoalan
selanjutnya adalah bagaimana kita dapat melihat dengan jelas akar kelahiran dan
perkembangan aswaja sebagai aliran teologi, ideologi ataupun sebagai sekedar
pembeda dari golongan yang sesat sebagaimana diisyaratkan oleh Rosulullah.
Untuk itulah pentingnya materi aswaja ini, yang lebih lanjut akan kita udar
dalam pembahasan berikut.
ASWAJA
DAN PERKEMBANGANNYA
Akar-akar sejarah munculnya istilah ahlu sunnah waljamaah
sebenarnya sudah muncul sejak Rosulullah SAW, dengan hadits prediktifnya yang
menyatakan bahwa umat islam akan terpecah menjadi 73 golongan dengan 72 nya
sesat dan hanya satu yang selamat yakni ahlu sunnah waljama’ah. Namun sebagai
konfigurasi sejarah, secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga
tahap secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam
bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang
dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh
yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua, proses
konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M)
berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam
konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan diskusi tentang
teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan
kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain
pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini
dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang
bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M)di Mesopotamia, Abu
Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin Ja’far al-Thahawi
(w.331 H/944 M) di Mesir. ( Nourouzzaman Shidiqi : 1996). Pada zaman
kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran
yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis
terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh As’ari sudah
keluar dari paham yang semestinya.
PERTEMUANNYA
DENGAN NAHDHOTUL ULAMA’ (NU)
Gelombang
euphoria pembakuan atau pem-Madzhab-an Aswaja seperti yang
diungkapkan diatas rupanya sampai juga di Indonesia. Arus modernisasi dan
kebangkitan gerakan Islam baik di ranah intelektual maupun cultural telah
melahirkan banyak organisasi Islam formal yang mulai menjamur diujung era
Penjajahan (sejak akhir abad 19 M) .Dan ternyata juga menempatkan Aswaja
sebagai asas organisasi dengan standarisasi Madzhab, komplit melalui
pembakuan produk tauhid, produk fiqih, dan berbagai product sikap
social politik
NU
yang merupakan ‘orang Tua’ PMII melalui pendirinya, Hadratusy Syaikh
Hasyim Asy’ari mengelaborasi aswaja yang termaktub dalam kitab Qanun
Asasi yang biasanya selalu dibacakan oleh Raisul Aam dalam Muktamar
NU, meliputi :
1.
Tauhid
versi Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu
Mansyur Al Maturidi
2.
Fiqh
versi Imamul Arba’ah ( Hanifah, Maliki, Syafi’I, dan Ahmad )
3.
Tashawwuf
versi Imam Ghozali dan Imam Junaid
Al Baghdadi
Dari upaya mengelaborasi aswaja yang
take for grented oleh para pendiri NU memberikan nuansa eklusifitas NU
dan sakralisasi atas hasil pemikiran 8 tokoh tersebut di atas, dan hal ini menyebabkan NU kurang akomodatif
terhadap pemikiran-pemikiran Islam
selain yang dibangun oleh 8 tokoh diatas. Disamping itu, pembakuan
tersebut menjadikan NU terkesan lamban dan kaku dalam merespon dan
mentransformasikan ajaran sunny terhadap tantangan social yang kompleks dan
pluralistic .
Beberapa
generasi muda NU mencoba mengkritisi fenomena tersebut dengan mencoba mengajak
berfikir ulang terhadap arti dan fungsi Aswaja sedikit mengungkap akar
metodologis dan historis tentang pembakuan aswaja NU tersebut,
diantaranya :
1.
Keberadaan
tokoh tokoh rujukan yang membangun pemahaman Aswaja NU sebenarnya adalah
ulama’-ulama’ yang masing-masing memiliki kerangka metodologis sendiri-sendiri
dan mungkin berbeda-beda terhadap tiga pokok dasar Islam yaitu Tauhid, Fiqh,
dan tashawwuf
2.
Eksklusivitas
yang mengindikasikan seolah-olah sudah tertutup ruang dialektis untuk
menempatkan konsep maupun produk ijtihat dari
Fiqh lain (Mis. Adh dhahiri ,Sofyan assauri dll) , tauhid yang lain
(Mis. Ibnu Taymiyah, syi’ah Imamiyah dll) , serta tashawwuf yang lain (seperti
asy Syadzili, Al Hallaj, dll)
3.
Belum
digalinya secara maksimal tokoh-tokoh
yang sudah terlanjur didaulat menjadi
panutan Aswaja NU, mis. Konsep tauhid Al Maturidi dan konsep tasahawwuf Al
Junaid masih jarang kita temui secara utuh
atas karya-karyanya.
Dari berbagai pertimbangan itu Dr Said Aqiel Siradj yang pada tahun 1995
memegang jabatan Khatib ‘Aam PB NU melontarkan dekonstruksi Aswaja versi
Qanun Asasi NU di depan sahabat-sahabat PMII di Jakarta. Beliau mengajak
kepada para generasi muda NU agar bisa menempatka Aswaja sebagai Manhajul
Fikr, bukan Madzhab (ideologi), yang mengkedepankan 3 prinsip
Utama yaitu tawasuth, tawazun, dan Tasamuh. Meskipun pada awalnya
menimbulkan berbagai hujatan dan kritikan dari sesepuh NU, Namun kemudian
proses yang cukup radikal ini ternyata menjadikan NU lebih dewasa dan arif
dalam memandang Aswaja yang dulu memang diskaralkan dan jumud.
ASWAJA
SEBAGAI IDEOLOGI INKLUSIF MELALUI MANHAJ AL-FIKR
Sebagai sebuah
ideologi aswaja tidak sekedar menjadi cita-cita spirit organisasi, namun lebih
dari itu aswaja harus mampu menjadi spirit hidup hingga tercapai esensi aswaja
sebagai sebuah tujuan hidup. Namun demikian tidak menjadikan kita menjadi
terbelenggu oleh menu khazanah pemikiran yang disuguhkan oleh para penegak
aswaja sebagaimana yang dipegangi oleh NU yang merupakan ‘bapak’ PMII. Aswaja
sebagai sebuah ideologi bagi PMII memiliki ciri inklusif, artinya tetap
membuka diri atas potensi kebenaran pada orang (tokoh) lain, yang tentunya
tetap menjadikan aswaja sebagai kerangka filter dan metode berfikir. Lebih jauh
aswaja PMII ditempatkan pada posisi esensial formal, yaitu kebenaran dan
cita-cita aswaja yang ingin dituju adalah secara esensi dan potensi, namun
tetap menjaga sisi formal (Norm), sehingga aswaja dapat secara operasional
diterapkan dengan menjadikan ideologi aswaja sebagai Manhaj al Fikr.
Aswaja sebagai Manhajul Fikri artinya tidak lagi menempatkan Aswaja sebagaimana NU yang take for granted, metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Oleh karenanya ideologi aswaja harus memiliki nilai dan standarisasi untuk mengukur pencapaiannya dalam menjadi sebuah metode berfikir. Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta pada tahun 1995. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumusan baru Kang Said diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII.
Prinsip
dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; Tawasuth (moderat), menempatkan
diri pada prinsip moderat (tengah), artinya mampu mengelaborasi dua sisi yang
radikan untuk mencapai kebenaran ideal. Tasamuh (toleran) sebuah prinsip yang responsip
terhadap al urf (budaya) dan segala khazanah dunia, yang tidak
mengkedepankan simbolistik dalam upaya memasukkan dan membumikan nilai-nila Aswaja
kepada umat manusia. Disinilah PMII dengan aswajanya harus memegangi sebagai Rohmatan
lil alamin. Tawazzun
(seimbang), sebuah prinsip istiqomah dalam membawa nilai-nilai
aswaja tanpa intervensi dari kekuatan manapun, dan sebuah pola pikir yang
selalu berusaha untuk menuju ke titik pusat ideal serta mampu mewujudkan
keseimbangan .
Aktualisasi
dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan
akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan
akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana
dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan
keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak
pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks
hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi
perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan
kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain,
yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakan
keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas
individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah manifestasi dari prinsip tasamuh
dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir adalah tawazzun
(seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan,
baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik
sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam
berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan
yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan
mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal
keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana
dapat dikatakan bahwa memandang dan memposisikan segala sesuatu pada
proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak
mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan
oportunis.
PENUTUP
Uraian konsepsi aswaja tersebut diatas, harus dipahaminya sebagai perkenalan awal yang sudah semestinya dapat diejawantahkan dan diaktualisasikan dalam diri dan prinsip hidup kader. Posisi aswaja sebagai ideologi inklisif tersebut menandakan PMII memberikan ruang kritik dan dialektik atas realitas baik aktual atau bahkan yang sudah mapan sekalipun. Sebagai akhir catatan ini, konsep utama melihat konsistensi dan eksistensi aswaja adalah sejauh mana sahabat dapat menggunakan aswaja untuk mewujudkan perubahan.
***Selamat*Viva*PMII*Berkarya***
* disampaikan oleh Suud Fuadi mahasiswa fak. Syari’ah yang sedang ngangsu kaweruh di PMII serta mendapat amanah sebagai Ketua Komisariat PMII Sunan Ampel Malang ‘05-06
Disampaikan dalam MAPABA PMII Rayon Ibnu Aqil dan Al Adawiyah pada tanggal 25-27 Nopember 2005 di Batu Malang
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda